Laman

Jumat, 27 Agustus 2010

FUNGSI DESA DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN

Keberadaan DESA di Jawa sudah ada sejak Pemerintah Republik Indonesia belum berdiri. Desa adalah merupakan suatu wilayah kesatuan hukum berdasarkan kesejarahan dan adat istiadat masyarakat. Kerajaan yang peranah ada di Jawa mengakui desa sebagai wilayah kesatuan hukum dibawah naungan kerajaan. Status dan keberadaan desa pada masa kerajaan mengacu kepada ”Buku Kerta Gama” dan ”Serat Wulang Reh”. Ketika masa pemerintahan Hindia Belanda, desa juga diakui sebagai satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang mempunyai kedaulatan. Oleh karena itu pada pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dibuatlah undang undang tentang desa, yaitu IGO untuk desa desa di wilayah Jawa dan Madura dan IGOB untuk desa di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Agar Pemerintah Hindia Belanda tidak terlalu mengintervensi tata aturan internal desa, maka Prof. Van Hover Don menulis paper peringatan berupa kritik terhadap IGO dan IGOB, sehingga Vols Krat (semacam DPR Pemerintah Hindia Belanda) pernah menolak undang undang tersebut, karena dianggap pemerintah Hindia Belanda akan mencampuri urusan tata kelola desa. Keberadaan desa sebagai wilayah kesatuan hukum yang berdaulat juga diakui secara sosial-politik oleh Pemerintah Jepang pada waktu menduduki wilayah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang memposisikan desa atau kampung sebagai satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat sebagai bagian wialayh administrasi pemerintahan timur raya. Pemerintah Jepang membentu Rukun Tangga atau yang sering disebut RT sebagai lembaga kaki tangan Jepang untuk fungsi pengawasan, pengendalian dan penggerakan warga paling bawah.
Pada saat Negara Republik Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945, dimana posisi desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesia, RT masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa. Begitu pentingnya desa sebagai perangkat negara yang paling riil sebagai institusi pelindung dan pengayomkehidupan warga, maka pada tahu 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 22 yang berisi; (a) Desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesi; (b) RT masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa; (c) Desa merupakan pemerintahan administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang ada diwilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Undang undang tentang desa tersebut kemudian diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian dan kehormatan sosial politik dan legetimasi hukum yang luar biasa dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang Undang Desa Nomor 19 Tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa adalah merupakan pemerintahan Swapraja yang mempunyai kelengkapan kelembagaan demokrasi: Eksekutip (Kepala Desa besarta Pamong Desa); Legislatip (DPRDesa / Gotong Royong); dan Makamah Desa / Adat (Para sesepuh dan pemangku adat).
Posisi desa sebagai ”desa swapraja” benar benar mempunyai memberi peran desa sebagai pembangkit karakter warga yang mandiri dan tidak ”bermental miskin”. Pengaturan tata kelola desa sungguh sungguh sempurna yang memenuhi asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Alokasi penggunaan kekayaan desa yang berupa tanah desa digunakan untuk pengentasan ”kemiskinan” warga desa. Hal itu tercermin pada alokasi penggunaan tanah desa untuk enam sektor penting, yaitu : (1) Tanah titi sara; adalah tanah desa yang digunakan untuk bentuan sosial bagi warga yang sedang menderita atau terkena bencana. (2) Tanah peguron; adalah tanah desa yang hasilnya digunakan untuk biaya pendidikan anak anak desa. (3) Tanah sengkeranadalah tanah desa yang digunakan untuk tempat penangkaran bibit / tanaman yang dilindungi dan penyeimbang ekosisitem lingkungan alam. (4) Tanah segahan; adalah tanah desa yang hasilnya untuk biaya komunikasi, loby dan membangun kerja sama. (5) Tanah pangon; adalah tanah desa yang digunakan untuk ruang publik dan penggembalaan hewan. (6) Tanahpelungguh; adalah tanah desa yang hasilnya untuk memberi honor para eksekutip, legislatip dan yudikatip desa.
Sayangnya masa kejayaan desa dalam kemandiriannya untuk membangkitkan karakter warga yang swadaya, swakarya, swadana dan swasembada tidak lama. Sebab pada penghujung tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965 terjadi gejolak politik nasional yang sering diingat dengan sebutuan G 30 S PKI. Kehidupan desa beserta tatanannya ikut ”hancur” terkena imbasnya gejolak politik tersebut. Sehingga hanya sebagaian desa di Indonesia yang sempat mengenyam berlakuknya UU Desa Swapraja. Desa yang sempat menerapkan desa swapraja adalah desa desa di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, karena konon penggagas desa swapraja adalah Almarhum Sultan Hamengku Buwana IX. Sejak saat itu kehidupan desa bagaikan ”mati” tidak ada kehidupan tata kelola pemerintahan desa. Apalagi dengan keluarnya Maklumat Politik Orde Baru Nomor 6 tahun 1969 yang mencabut dan tidak memberlakukan seluruh perundang undangan dan peraturan tentang desa. Dengan demikian desa tidak mempunyai legitimasi sosial, politik dan hukum sama sekali, maka kehidupan desa bagaikan ”anak ayam kehilangan induknya”, tidak mempunyai pegangan dan legitimasi sosial polik apapun dari negara. Baru pada tahun 1974 melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, desa diposisikan sebagai bagaian yang tidak terpisahkan dengan Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dengan Pemerintah Pusat. Posisi desa yang merupakan bagaian melekat dengan Pemerintah Daerah dikuatkan lagi dengan keluarnya UU Nomor 5 Tahun 1979. Posisi desa seperti itu menjadikan tata pemerintahan desa hanya sebagai ”perangkat” pemerintah daerah bukan sebagai”pengayom” dan ”pengemong” atau bukan lagi sebagai fasilitator warga desa.
Posisi sosial, politik dan hukum desa berdasarkan UU No 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 yang dilandasi oleh maklumat politik Orde Baru No 6 Tahun 1969 mempunyai implikasi terhadap perubahan tata kelola desa. Sebab undang undang tersebut memberi mandat bahwa pengelolaan pemerintahan desa dan pembanguan desa bukan lagi utuh menjadi hak dan kewenangan desa namun merupakan hak dan kewenangan pemerintah daerah dibawah arahan pemerintah pusat. Desa bukan lagi sebagai subyek namun sebagai objek berbagai project pembangunan pemerintah pusat melalui pemerintah daerah. Institusi desa diposisikan sebagai wilayah administrasi pemerintah daerah yang ”taat” dan ”patuh” menerima ”kehendak baik” berupa berbagai bentuk bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat melaui pemerintah daerah. Bahkan desa pernah menjadi ”alat’ untuk memperoleh project project bantuan, hal ini terjadi pada kasus program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan JPS (Jaring Pengaman Sosial). Kemiskinan dan kesulitan warga bukan menjadi bagian yang harus diselesaikan oleh desa, namun merupakan modal sosial desauntuk memperoleh project bantuan dan program pembangunan dari pemerintah. Akibatnya pamong desa berubah dari fungsi ”pengayom” dan fasilitator warga menjadi perangkat administrasi pemerintah untuk: (1) mendata kebutuhan, kekurangan dan kemiskinan warga untuk diusulkan mendapatkan project bantuan (2) Menginfromasikan dan mendistribusikan bantuan dari pemerintah untuk warga. (3) membantu pemerintah menarik Pajak Bumi Bangunan dan ada juga yang membantu Kantor Pos untuk menyampaikan surat yang ditujukan untuk warganya.
Ketika era reformasi ”melengserkan” Rezim Orde Baru tahun 1988/1999, posisi sosial, politik dan hukum tentang desa mendapat ”angin segar”, yaitu keluarnya UU Nomor 22 Tahun 1999. Undang undang tersebut memberi posisi desa hampir mendekati dengan UU No 19 tahun 1965 dimana desa mempunyai legislatip (Badan perwakilan Desa) dan Eksekutip (Kepala Desa besarta pamong desa), sayangnya UU 22/1999 tidak memberi mandat desa untuk mempunyai badan Yudikatip desa seperti UU 19/1965. Walaupun tidak ada Badan Yudikatip desa pada mandat yang diberikan oleh UU 22/1999, namun sudah cukup memberi hak, kewenangan dan tanggung jawab desa untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan desa secara berdaulat. Pelaksanaan UU 22/99 terseok seok bagaikan ”nafsu besar tenaga kurang”, semangat desa mempunyai hak dan kewenangan tidak diimbangi dengan karakter dan ketrampilan mengelola pembiayaan pemerintahan dan pembanguan desa secara mandiri. Hal itu terlihat dari komposisi APBDesa (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) sebagaian desa masih menggantungkan pendapatan desa dari pasokan pemerintah melalui dana ADD (Alokasi Dana Desa). Konsekuensi logis dari pendapatan desa yang masih mendapat pasokan dari pemerintah pusat melalui pemerintah daerah, akhirnya proses kemandirian desa terciderai dengan berbagai ”arahan” penggunaan dana ADD dari pemerintah daerah. Kondisi dan situasi tersebut menjadi salah satu pendorong pemerintah untuk mengeluarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dimana posisi politik dan hukum tentang desa merupakan bagian integral dari otonomi daerah. Hal ini diperkuat status sekertaris desa adalah PNS, sementara Kepala Desa besarta pamong desa mendapat insentip untuk menambah pendampatan dari pemerintah daerah, dan tanah desa di beberapa Kabupaten dikelola oleh pemerintah desa. Di pihak warga desa sendiri karakter sebagai penikmat ”bantuan” dan ”project” masih cukup besar walaupun harus mengorbankan kebesaran dirinya yang harus merelakan dirinya menyandang label ”orang miskin”.Konsepsi miskin bukan lagi aib yang harus dilepas dari dirinya namun sebagai ”identitas administrasi” untuk persyaratan mendapat bantuan dari pemerintah. Konon pada tahun 1970-an, ketika Rezim Orde Baru meminta para kepala desa untuk mendata orang miskin, banyak kepala desa yang tidak mendapatkannya. Karena tidak ada satupun warga yang mau didaftar sebagai orang miskin. Namun saat ini banyak kasus warga yang marah kepada Kepala Desa karena dirinya di hapus atau di coret dari daftar sebagai orang miskin. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau angka kemiskinan di desa tidak semakin berkurang, namun justru kemungkinan akan semakin bertambah.
Akhir tulisan ini secara singkat ingin menunjukan indikator desa yang berdaya sbb:
Village
Capacity Building
Urgency
Pemberdayaan desa artinya meningkatkan peran desa dalam agenda pengentasan kemiskinan dan mendukung kekuatan Pemerintah Daerah Tingkat II dalam melaksankan mandat UU 32/2004 Tentang Otonomi Daerah. Oleh karena itu, desa perlu dipercepat di dalam meningkatkan kemampuannya untuk mengakses berbagai agen strategis seperti PNPM mandiri perdesaan, CSR, project NGO Nasional/Internasional, investor, bank, pasar, technology dll
Tanpa dukungan desa yang berdaya, pemerintah kabupaten / kota sangat sulit untuk melayani hak hak warga dan meningkatkan kesejahteraan masyaraktnya. Ada sejumlah regulasi bahwa desa yang bisa mengakses dan bekerjasama denganPNPM mandiri , bank dunia, ADB, dan CSR adalah desa yang berdaya seperti dibawah ini:
Outcome
Self governance organization; Desa memiliki sumber-sumber pendanaan yang cukup dan sustainable, berhasil mengelola ‘dirinya’ dengan baik, sehingga mampu menyediakan pelayanan warga yang berkualitas.
Indikator
1. Tersediannya sumber-sumber pendapatan yang reliable (dapat diandalkan).
2. Memiliki SDM yang berkualitas dan sistem pengelolaan kelembagaan yang baik
3. Adanya standar supporting sistempelayanan publik yang prima dalam hal administrasi, kesehatan, pendidikan dan ekonomi bagi warganya.
Out put
1. Desa mempunyai perencanaan pembangunan jangka menengah desa sebagai acuan perencanaan tahunan desa, perencanaan anggaran pendapatan dan belanja desa, dan rencana kerja tahunan desa.
2. Desa mempunyai rencana tata ruang dan tata wilayah desa sebagai acuan perencanaan tata desa.
3. Desa mempunyai sistem informasi dandokumentasi kependudukan dan potensi desa dengan ckilc system.
4. Desa mempunyai minimal delapan peraturan desa untuk tata kelola pelayanan prima.
5. Desa mempunyai Badan Usaha Milik Desa yang mampu menjadi sumber pendanaan kelembagaan dan pembangunan desa.
Indikator
1. Ada dokumen gambaran kondisi desa dan kualitas kehidupan warganya pada lima tahun kedepan.
2. Ada dokumen kondisi tata ruang dan tata wilayah desa yang berperspektip ekosisitem pada lima tahun kedepan. Serta panduan tekhnis pembangunan infrastruktur desa.
3. Setiap orang (warga, pemerintah, NGO, Swasta dll) hanya memerlukan waktu maksimal lima menit untuk mengetahui profile dan kualitas sumber daya manusia dan alam desa.
4. Ada tata kelola pelayanan kebutuhan warga secara sepat, tepat, mudah, berkualitas dan murah.
5. Ada pendapatan desa untuk membiayai pengelolaan kelembagaan dan pembangunan desa.
Input
Instol soft ware
Pelatihan, Pendampingan, R&D
Sumber daya
Instol soft ware
Konsultan

Minggu, 01 Agustus 2010

STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN PNPM-MD

Dalam menghadapai tantangan masa depan, maka strategi pengentasan kemiskinan harus diarahkan untuk :
1. Meningkatkan kualitas manusia dan penghasilan secara berkelanjutan.
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan : air bersih dan sanitasi lingkungan.
3. Melestarikan fungsi sumberdaya alam.

Peningkatan Kualitas Manusia dan Penghasilan secara Berkelanjutan.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mewujudkan manusia berkualitas dan mempunyai penghasilan secara berkelanjutan adalah peningkatan pendidikan dan ketrampilan yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dalam mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengembangan program pendidikan dan ketrampilan di masa depan ini harus dilandasi dengan asumsi bahwa kualitas dan keanekaragaman pengetahuan dan ketrampilan makin dibutuhkan baik disektor pertanian maupun non-pertanian. Ini berarti bahwa pengembangan sistem pendidikan dan ketrampilan di masa depan harus secara spesifik memperhatiakn kepentingan golongan miskin. Keberpihakan terhadap golongan miskin ini diperlukan untuk mengembangkan masyarakat miskin menjadi potensi penggerak perekonomian di masa mendatang.

Peningkatan Pelayanan Kesehatan : Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan.

Aksesibilitas penduduk miskin terhadap fasilitas kesehatan masih perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, saat ini lebih dari 70% desa miskin tidak mempunyai fasilitas kesehatan yang memadai. Kondisi ini sangat mempengaruhi kesehatan dan kualitas penduduk yang tentunya juga mempengaruhi produktivitas mereka. Desa miskin umumnya tidak mempunyai prasarana perhubungan yang memadai, dan penyediaan fasilitas air bersih juga memprihatinkan. Perlu dilakukan program peningkatan pelayanan sosial yang memadai yang mencakup aspek kesehatan, sarana perhubungan, sanitasi lingkungan, dan air bersih. Kegiatan ini akan lebih efektif bila dicanangkan secara nasional, dan untuk periode ini target utamanya adalah wilayah-wilayah miskin yang berada di daerah perkotaan. Hal ini mengingat bahwa di tahun-tahun mendatang, tekanan-tekanan di perkotaan baik sebagai akibat urbanisasi maupun perkembangan pembangunan di kota akan semakin meningkat.

Pelestarian Fungsi Sumberdaya Alam

Sampai pada tahun 2020 kebanyakan penduduk miskin diperkirakan masih akan bergantung pada sumberdaya alam. Masyarakat petani akan menghadapi masalah serius yang sulit dipecahkan, yaitu kelangkaan tanah. Tanah untuk kegiatan pertanian telah dan akan semakin menyempit sebagai akibat konversi menjadi tanah non-pertanian seperti industri dan pemukiman.
Selain petani, nelayan merupakan kelompok masyarakat miskin yang memerlukan perhatian. Salah satu langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi masalah masyarakat miskin di wilayah pesisir (nelayan) adalah pengembangan sektor kelautan yang lebih memperhatikan keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan. (Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi NAsional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kameneg LH $ UNDP, Jakarta Maret 1997, Hal 16-18).

Visi dan Misi PNPM-MD

Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Persoalan pengangguran lebih dipicu oleh rendahnya kesempatan dan peluang kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Upaya untuk menanggulanginya harus menggunakan pendekatan multi disiplin yang berdimensi pemberdayaan. Pemberdayaan yang tepat harus memadukan aspek-aspek penyadaran, peningkatan kapasitas, dan pendayagunaan.

Mulai tahun 2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat.


Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.

Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK)

Tujuan dan Output PNPM-MD

Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

Tujuan khususnya meliputi:
  1. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan
  2. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal
  3. Mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif
  4. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat
  5. Melembagakan pengelolaan dana bergulir
  6. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan KerjaSama Antar Desa (BKAD)
  7. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan


Keluaran yang diharapkan :
  1. Terjadinya peningkatan keterlibatan Rumahtangga Miskin (RTM) dan kelompok perempuan mulai perencanaan sampai dengan pelestarian
  2. Terlembaganya sistem pembangunan partisipatif di desa dan antar desa
  3. Terjadinya peningkatan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pembangunan partisipatif
  4. Berfungsi dan bermanfaatnya hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan bagi masyarakat
  5. Terlembaganya pengelolaan dana bergulir dalam peningkatan pelayanan sosial dasar dan ketersediaan akses ekonomi terhadap RTM
  6. Terbentuk dan berkembangnya BKAD dalam pengelolaan pembangunan
  7. Terjadinya peningkatan peran serta dan kerja sama para pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan

Prinsip Dasar PNPM-MD

Sesuai dengan Pedoman Umum, PNPM Mandiri Perdesaan mempunyai prinsip atau nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan PNPM Mandiri Perdesaan. Prinsip-prinsip itu meliputi:
  • Bertumpu pada pembangunan manusia. Pengertian prinsip bertumpu pada pembangunan manusia adalah masyarakat hendaknya memilih kegiatan yang berdampak langsung terhadap upaya pembangunan manusia daripada pembangunan fisik semata
  • Otonomi. Pengertian prinsip otonomi adalah masyarakat memiliki hak dan kewenangan mengatur diri secara mandiri dan bertanggung jawab, tanpa intervensi negatif dari luar
  • Desentralisasi. Pengertian prinsip desentralisasi adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengelola kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan yang bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kapasitas masyarakat
  • Berorientasi pada masyarakat miskin. Pengertian prinsip berorientasi pada masyarakat miskin adalah segala keputusan yang diambil berpihak kepada masyarakat miskin
  • Partisipasi. Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill
  • Kesetaraan dan keadilan gender. Pengertian prinsip kesetaraan dan keadilan gender adalah masyarakat baik laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahapan program dan dalam menikmati manfaat kegiatan pembangunan,kesetaraan juga dalam pengertian kesejajaran kedudukan pada saat situasi konflik
  • Demokratis. Pengertian prinsip demokratis adalah masyarakat mengambil keputusan pembangunan secara musyarawah dan mufakat
  • Transparansi dan Akuntabel. Pengertian prinsip transparansi dan akuntabel adalah masyarakat memiliki akses terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral, teknis, legal, maupun administratif
  • Prioritas. Pengertian prinsip prioritas adalah masyarakat memilih kegiatan yang diutamakan dengan mempertimbangkan kemendesakan dan kemanfaatan untuk pengentasan kemiskinan
  • Keberlanjutan. Pengertian prinsip keberlanjutan adalah bahwa dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan harus telah mempertimbangkan sistem pelestariannya

10 Tahun Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-MD Jawa Tengah)

Alokasi dana bantuan PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2008 digunakan untuk mendanai 29 kabupaten, 224 kecamatan dan dikompetisikan di 3,544 desa yang berpartisipasi. Total jumlah desa tertinggal di Jawa Tengah adalah sebanyak 1.477 desa.
Lokasi PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 di provinsi Jawa Tengah adalah mencakup 29 kabupaten, 322 Kecamatan dan 5.094 Desa partisipasi.