Laman

Sabtu, 20 November 2010

5 Milyar Dana Bergulir PNPM MD Purworejo belum digulirkan ke pada Rumah Tangga Miskin

Secara Nasional program Nasional Pemberdayaan Masyrakat Desa sudah berlangsung hampir 2 tahun dimana dlam programnya terdiri Peningkatan Sarana dan Prasarana, Peningkatan Kualitas Hidup, dan Pemberdayaan Wanita melalui program Simpan Pinjam kelompok Wanita (SPP). Adapun SPP adalah merupakan dana Bergulir yang merupakan dana pinjaman dengan bunga pasar diperuntkukan bagi wanita yang berupa pinjaman kelompok. Pinjaman itu adalah sebesar maksimal 25% dari dana bantuan tiap kecamatan. Misalnya 500 juta untuk bantuan 2 Milyar, 250 juta untuk 1 Milyar, dan 750 Milyar untuk 3 Milyar yang Jumlahnya bervariasi.

Rabu, 13 Oktober 2010

PNPM MD Gelar Pelatihan Bagi Kades dan BPD

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MD) menyelenggarakan pelatihan Kades dan BPD di GOR WR Soepratman, Selasa (12/10). Kegiaran mengambil tema pola pikir baru pola kerja baru untuk integrasi pembangunan partisipatif Kaupaten Purworejo, one village one planning, one planning for all.

Jumat, 27 Agustus 2010

FUNGSI DESA DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN

Keberadaan DESA di Jawa sudah ada sejak Pemerintah Republik Indonesia belum berdiri. Desa adalah merupakan suatu wilayah kesatuan hukum berdasarkan kesejarahan dan adat istiadat masyarakat. Kerajaan yang peranah ada di Jawa mengakui desa sebagai wilayah kesatuan hukum dibawah naungan kerajaan. Status dan keberadaan desa pada masa kerajaan mengacu kepada ”Buku Kerta Gama” dan ”Serat Wulang Reh”. Ketika masa pemerintahan Hindia Belanda, desa juga diakui sebagai satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang mempunyai kedaulatan. Oleh karena itu pada pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dibuatlah undang undang tentang desa, yaitu IGO untuk desa desa di wilayah Jawa dan Madura dan IGOB untuk desa di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Agar Pemerintah Hindia Belanda tidak terlalu mengintervensi tata aturan internal desa, maka Prof. Van Hover Don menulis paper peringatan berupa kritik terhadap IGO dan IGOB, sehingga Vols Krat (semacam DPR Pemerintah Hindia Belanda) pernah menolak undang undang tersebut, karena dianggap pemerintah Hindia Belanda akan mencampuri urusan tata kelola desa. Keberadaan desa sebagai wilayah kesatuan hukum yang berdaulat juga diakui secara sosial-politik oleh Pemerintah Jepang pada waktu menduduki wilayah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang memposisikan desa atau kampung sebagai satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat sebagai bagian wialayh administrasi pemerintahan timur raya. Pemerintah Jepang membentu Rukun Tangga atau yang sering disebut RT sebagai lembaga kaki tangan Jepang untuk fungsi pengawasan, pengendalian dan penggerakan warga paling bawah.
Pada saat Negara Republik Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945, dimana posisi desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesia, RT masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa. Begitu pentingnya desa sebagai perangkat negara yang paling riil sebagai institusi pelindung dan pengayomkehidupan warga, maka pada tahu 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 22 yang berisi; (a) Desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesi; (b) RT masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa; (c) Desa merupakan pemerintahan administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang ada diwilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Undang undang tentang desa tersebut kemudian diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian dan kehormatan sosial politik dan legetimasi hukum yang luar biasa dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang Undang Desa Nomor 19 Tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa adalah merupakan pemerintahan Swapraja yang mempunyai kelengkapan kelembagaan demokrasi: Eksekutip (Kepala Desa besarta Pamong Desa); Legislatip (DPRDesa / Gotong Royong); dan Makamah Desa / Adat (Para sesepuh dan pemangku adat).
Posisi desa sebagai ”desa swapraja” benar benar mempunyai memberi peran desa sebagai pembangkit karakter warga yang mandiri dan tidak ”bermental miskin”. Pengaturan tata kelola desa sungguh sungguh sempurna yang memenuhi asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Alokasi penggunaan kekayaan desa yang berupa tanah desa digunakan untuk pengentasan ”kemiskinan” warga desa. Hal itu tercermin pada alokasi penggunaan tanah desa untuk enam sektor penting, yaitu : (1) Tanah titi sara; adalah tanah desa yang digunakan untuk bentuan sosial bagi warga yang sedang menderita atau terkena bencana. (2) Tanah peguron; adalah tanah desa yang hasilnya digunakan untuk biaya pendidikan anak anak desa. (3) Tanah sengkeranadalah tanah desa yang digunakan untuk tempat penangkaran bibit / tanaman yang dilindungi dan penyeimbang ekosisitem lingkungan alam. (4) Tanah segahan; adalah tanah desa yang hasilnya untuk biaya komunikasi, loby dan membangun kerja sama. (5) Tanah pangon; adalah tanah desa yang digunakan untuk ruang publik dan penggembalaan hewan. (6) Tanahpelungguh; adalah tanah desa yang hasilnya untuk memberi honor para eksekutip, legislatip dan yudikatip desa.
Sayangnya masa kejayaan desa dalam kemandiriannya untuk membangkitkan karakter warga yang swadaya, swakarya, swadana dan swasembada tidak lama. Sebab pada penghujung tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965 terjadi gejolak politik nasional yang sering diingat dengan sebutuan G 30 S PKI. Kehidupan desa beserta tatanannya ikut ”hancur” terkena imbasnya gejolak politik tersebut. Sehingga hanya sebagaian desa di Indonesia yang sempat mengenyam berlakuknya UU Desa Swapraja. Desa yang sempat menerapkan desa swapraja adalah desa desa di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, karena konon penggagas desa swapraja adalah Almarhum Sultan Hamengku Buwana IX. Sejak saat itu kehidupan desa bagaikan ”mati” tidak ada kehidupan tata kelola pemerintahan desa. Apalagi dengan keluarnya Maklumat Politik Orde Baru Nomor 6 tahun 1969 yang mencabut dan tidak memberlakukan seluruh perundang undangan dan peraturan tentang desa. Dengan demikian desa tidak mempunyai legitimasi sosial, politik dan hukum sama sekali, maka kehidupan desa bagaikan ”anak ayam kehilangan induknya”, tidak mempunyai pegangan dan legitimasi sosial polik apapun dari negara. Baru pada tahun 1974 melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, desa diposisikan sebagai bagaian yang tidak terpisahkan dengan Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dengan Pemerintah Pusat. Posisi desa yang merupakan bagaian melekat dengan Pemerintah Daerah dikuatkan lagi dengan keluarnya UU Nomor 5 Tahun 1979. Posisi desa seperti itu menjadikan tata pemerintahan desa hanya sebagai ”perangkat” pemerintah daerah bukan sebagai”pengayom” dan ”pengemong” atau bukan lagi sebagai fasilitator warga desa.
Posisi sosial, politik dan hukum desa berdasarkan UU No 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 yang dilandasi oleh maklumat politik Orde Baru No 6 Tahun 1969 mempunyai implikasi terhadap perubahan tata kelola desa. Sebab undang undang tersebut memberi mandat bahwa pengelolaan pemerintahan desa dan pembanguan desa bukan lagi utuh menjadi hak dan kewenangan desa namun merupakan hak dan kewenangan pemerintah daerah dibawah arahan pemerintah pusat. Desa bukan lagi sebagai subyek namun sebagai objek berbagai project pembangunan pemerintah pusat melalui pemerintah daerah. Institusi desa diposisikan sebagai wilayah administrasi pemerintah daerah yang ”taat” dan ”patuh” menerima ”kehendak baik” berupa berbagai bentuk bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat melaui pemerintah daerah. Bahkan desa pernah menjadi ”alat’ untuk memperoleh project project bantuan, hal ini terjadi pada kasus program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan JPS (Jaring Pengaman Sosial). Kemiskinan dan kesulitan warga bukan menjadi bagian yang harus diselesaikan oleh desa, namun merupakan modal sosial desauntuk memperoleh project bantuan dan program pembangunan dari pemerintah. Akibatnya pamong desa berubah dari fungsi ”pengayom” dan fasilitator warga menjadi perangkat administrasi pemerintah untuk: (1) mendata kebutuhan, kekurangan dan kemiskinan warga untuk diusulkan mendapatkan project bantuan (2) Menginfromasikan dan mendistribusikan bantuan dari pemerintah untuk warga. (3) membantu pemerintah menarik Pajak Bumi Bangunan dan ada juga yang membantu Kantor Pos untuk menyampaikan surat yang ditujukan untuk warganya.
Ketika era reformasi ”melengserkan” Rezim Orde Baru tahun 1988/1999, posisi sosial, politik dan hukum tentang desa mendapat ”angin segar”, yaitu keluarnya UU Nomor 22 Tahun 1999. Undang undang tersebut memberi posisi desa hampir mendekati dengan UU No 19 tahun 1965 dimana desa mempunyai legislatip (Badan perwakilan Desa) dan Eksekutip (Kepala Desa besarta pamong desa), sayangnya UU 22/1999 tidak memberi mandat desa untuk mempunyai badan Yudikatip desa seperti UU 19/1965. Walaupun tidak ada Badan Yudikatip desa pada mandat yang diberikan oleh UU 22/1999, namun sudah cukup memberi hak, kewenangan dan tanggung jawab desa untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan desa secara berdaulat. Pelaksanaan UU 22/99 terseok seok bagaikan ”nafsu besar tenaga kurang”, semangat desa mempunyai hak dan kewenangan tidak diimbangi dengan karakter dan ketrampilan mengelola pembiayaan pemerintahan dan pembanguan desa secara mandiri. Hal itu terlihat dari komposisi APBDesa (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) sebagaian desa masih menggantungkan pendapatan desa dari pasokan pemerintah melalui dana ADD (Alokasi Dana Desa). Konsekuensi logis dari pendapatan desa yang masih mendapat pasokan dari pemerintah pusat melalui pemerintah daerah, akhirnya proses kemandirian desa terciderai dengan berbagai ”arahan” penggunaan dana ADD dari pemerintah daerah. Kondisi dan situasi tersebut menjadi salah satu pendorong pemerintah untuk mengeluarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dimana posisi politik dan hukum tentang desa merupakan bagian integral dari otonomi daerah. Hal ini diperkuat status sekertaris desa adalah PNS, sementara Kepala Desa besarta pamong desa mendapat insentip untuk menambah pendampatan dari pemerintah daerah, dan tanah desa di beberapa Kabupaten dikelola oleh pemerintah desa. Di pihak warga desa sendiri karakter sebagai penikmat ”bantuan” dan ”project” masih cukup besar walaupun harus mengorbankan kebesaran dirinya yang harus merelakan dirinya menyandang label ”orang miskin”.Konsepsi miskin bukan lagi aib yang harus dilepas dari dirinya namun sebagai ”identitas administrasi” untuk persyaratan mendapat bantuan dari pemerintah. Konon pada tahun 1970-an, ketika Rezim Orde Baru meminta para kepala desa untuk mendata orang miskin, banyak kepala desa yang tidak mendapatkannya. Karena tidak ada satupun warga yang mau didaftar sebagai orang miskin. Namun saat ini banyak kasus warga yang marah kepada Kepala Desa karena dirinya di hapus atau di coret dari daftar sebagai orang miskin. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau angka kemiskinan di desa tidak semakin berkurang, namun justru kemungkinan akan semakin bertambah.
Akhir tulisan ini secara singkat ingin menunjukan indikator desa yang berdaya sbb:
Village
Capacity Building
Urgency
Pemberdayaan desa artinya meningkatkan peran desa dalam agenda pengentasan kemiskinan dan mendukung kekuatan Pemerintah Daerah Tingkat II dalam melaksankan mandat UU 32/2004 Tentang Otonomi Daerah. Oleh karena itu, desa perlu dipercepat di dalam meningkatkan kemampuannya untuk mengakses berbagai agen strategis seperti PNPM mandiri perdesaan, CSR, project NGO Nasional/Internasional, investor, bank, pasar, technology dll
Tanpa dukungan desa yang berdaya, pemerintah kabupaten / kota sangat sulit untuk melayani hak hak warga dan meningkatkan kesejahteraan masyaraktnya. Ada sejumlah regulasi bahwa desa yang bisa mengakses dan bekerjasama denganPNPM mandiri , bank dunia, ADB, dan CSR adalah desa yang berdaya seperti dibawah ini:
Outcome
Self governance organization; Desa memiliki sumber-sumber pendanaan yang cukup dan sustainable, berhasil mengelola ‘dirinya’ dengan baik, sehingga mampu menyediakan pelayanan warga yang berkualitas.
Indikator
1. Tersediannya sumber-sumber pendapatan yang reliable (dapat diandalkan).
2. Memiliki SDM yang berkualitas dan sistem pengelolaan kelembagaan yang baik
3. Adanya standar supporting sistempelayanan publik yang prima dalam hal administrasi, kesehatan, pendidikan dan ekonomi bagi warganya.
Out put
1. Desa mempunyai perencanaan pembangunan jangka menengah desa sebagai acuan perencanaan tahunan desa, perencanaan anggaran pendapatan dan belanja desa, dan rencana kerja tahunan desa.
2. Desa mempunyai rencana tata ruang dan tata wilayah desa sebagai acuan perencanaan tata desa.
3. Desa mempunyai sistem informasi dandokumentasi kependudukan dan potensi desa dengan ckilc system.
4. Desa mempunyai minimal delapan peraturan desa untuk tata kelola pelayanan prima.
5. Desa mempunyai Badan Usaha Milik Desa yang mampu menjadi sumber pendanaan kelembagaan dan pembangunan desa.
Indikator
1. Ada dokumen gambaran kondisi desa dan kualitas kehidupan warganya pada lima tahun kedepan.
2. Ada dokumen kondisi tata ruang dan tata wilayah desa yang berperspektip ekosisitem pada lima tahun kedepan. Serta panduan tekhnis pembangunan infrastruktur desa.
3. Setiap orang (warga, pemerintah, NGO, Swasta dll) hanya memerlukan waktu maksimal lima menit untuk mengetahui profile dan kualitas sumber daya manusia dan alam desa.
4. Ada tata kelola pelayanan kebutuhan warga secara sepat, tepat, mudah, berkualitas dan murah.
5. Ada pendapatan desa untuk membiayai pengelolaan kelembagaan dan pembangunan desa.
Input
Instol soft ware
Pelatihan, Pendampingan, R&D
Sumber daya
Instol soft ware
Konsultan

Minggu, 01 Agustus 2010

STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN PNPM-MD

Dalam menghadapai tantangan masa depan, maka strategi pengentasan kemiskinan harus diarahkan untuk :
1. Meningkatkan kualitas manusia dan penghasilan secara berkelanjutan.
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan : air bersih dan sanitasi lingkungan.
3. Melestarikan fungsi sumberdaya alam.

Peningkatan Kualitas Manusia dan Penghasilan secara Berkelanjutan.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mewujudkan manusia berkualitas dan mempunyai penghasilan secara berkelanjutan adalah peningkatan pendidikan dan ketrampilan yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dalam mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengembangan program pendidikan dan ketrampilan di masa depan ini harus dilandasi dengan asumsi bahwa kualitas dan keanekaragaman pengetahuan dan ketrampilan makin dibutuhkan baik disektor pertanian maupun non-pertanian. Ini berarti bahwa pengembangan sistem pendidikan dan ketrampilan di masa depan harus secara spesifik memperhatiakn kepentingan golongan miskin. Keberpihakan terhadap golongan miskin ini diperlukan untuk mengembangkan masyarakat miskin menjadi potensi penggerak perekonomian di masa mendatang.

Peningkatan Pelayanan Kesehatan : Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan.

Aksesibilitas penduduk miskin terhadap fasilitas kesehatan masih perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, saat ini lebih dari 70% desa miskin tidak mempunyai fasilitas kesehatan yang memadai. Kondisi ini sangat mempengaruhi kesehatan dan kualitas penduduk yang tentunya juga mempengaruhi produktivitas mereka. Desa miskin umumnya tidak mempunyai prasarana perhubungan yang memadai, dan penyediaan fasilitas air bersih juga memprihatinkan. Perlu dilakukan program peningkatan pelayanan sosial yang memadai yang mencakup aspek kesehatan, sarana perhubungan, sanitasi lingkungan, dan air bersih. Kegiatan ini akan lebih efektif bila dicanangkan secara nasional, dan untuk periode ini target utamanya adalah wilayah-wilayah miskin yang berada di daerah perkotaan. Hal ini mengingat bahwa di tahun-tahun mendatang, tekanan-tekanan di perkotaan baik sebagai akibat urbanisasi maupun perkembangan pembangunan di kota akan semakin meningkat.

Pelestarian Fungsi Sumberdaya Alam

Sampai pada tahun 2020 kebanyakan penduduk miskin diperkirakan masih akan bergantung pada sumberdaya alam. Masyarakat petani akan menghadapi masalah serius yang sulit dipecahkan, yaitu kelangkaan tanah. Tanah untuk kegiatan pertanian telah dan akan semakin menyempit sebagai akibat konversi menjadi tanah non-pertanian seperti industri dan pemukiman.
Selain petani, nelayan merupakan kelompok masyarakat miskin yang memerlukan perhatian. Salah satu langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi masalah masyarakat miskin di wilayah pesisir (nelayan) adalah pengembangan sektor kelautan yang lebih memperhatikan keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan. (Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi NAsional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kameneg LH $ UNDP, Jakarta Maret 1997, Hal 16-18).

Visi dan Misi PNPM-MD

Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Persoalan pengangguran lebih dipicu oleh rendahnya kesempatan dan peluang kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Upaya untuk menanggulanginya harus menggunakan pendekatan multi disiplin yang berdimensi pemberdayaan. Pemberdayaan yang tepat harus memadukan aspek-aspek penyadaran, peningkatan kapasitas, dan pendayagunaan.

Mulai tahun 2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat.


Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.

Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK)

Tujuan dan Output PNPM-MD

Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

Tujuan khususnya meliputi:
  1. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan
  2. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal
  3. Mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif
  4. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat
  5. Melembagakan pengelolaan dana bergulir
  6. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan KerjaSama Antar Desa (BKAD)
  7. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan


Keluaran yang diharapkan :
  1. Terjadinya peningkatan keterlibatan Rumahtangga Miskin (RTM) dan kelompok perempuan mulai perencanaan sampai dengan pelestarian
  2. Terlembaganya sistem pembangunan partisipatif di desa dan antar desa
  3. Terjadinya peningkatan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pembangunan partisipatif
  4. Berfungsi dan bermanfaatnya hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan bagi masyarakat
  5. Terlembaganya pengelolaan dana bergulir dalam peningkatan pelayanan sosial dasar dan ketersediaan akses ekonomi terhadap RTM
  6. Terbentuk dan berkembangnya BKAD dalam pengelolaan pembangunan
  7. Terjadinya peningkatan peran serta dan kerja sama para pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan

Prinsip Dasar PNPM-MD

Sesuai dengan Pedoman Umum, PNPM Mandiri Perdesaan mempunyai prinsip atau nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan PNPM Mandiri Perdesaan. Prinsip-prinsip itu meliputi:
  • Bertumpu pada pembangunan manusia. Pengertian prinsip bertumpu pada pembangunan manusia adalah masyarakat hendaknya memilih kegiatan yang berdampak langsung terhadap upaya pembangunan manusia daripada pembangunan fisik semata
  • Otonomi. Pengertian prinsip otonomi adalah masyarakat memiliki hak dan kewenangan mengatur diri secara mandiri dan bertanggung jawab, tanpa intervensi negatif dari luar
  • Desentralisasi. Pengertian prinsip desentralisasi adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengelola kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan yang bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kapasitas masyarakat
  • Berorientasi pada masyarakat miskin. Pengertian prinsip berorientasi pada masyarakat miskin adalah segala keputusan yang diambil berpihak kepada masyarakat miskin
  • Partisipasi. Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill
  • Kesetaraan dan keadilan gender. Pengertian prinsip kesetaraan dan keadilan gender adalah masyarakat baik laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahapan program dan dalam menikmati manfaat kegiatan pembangunan,kesetaraan juga dalam pengertian kesejajaran kedudukan pada saat situasi konflik
  • Demokratis. Pengertian prinsip demokratis adalah masyarakat mengambil keputusan pembangunan secara musyarawah dan mufakat
  • Transparansi dan Akuntabel. Pengertian prinsip transparansi dan akuntabel adalah masyarakat memiliki akses terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral, teknis, legal, maupun administratif
  • Prioritas. Pengertian prinsip prioritas adalah masyarakat memilih kegiatan yang diutamakan dengan mempertimbangkan kemendesakan dan kemanfaatan untuk pengentasan kemiskinan
  • Keberlanjutan. Pengertian prinsip keberlanjutan adalah bahwa dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan harus telah mempertimbangkan sistem pelestariannya

10 Tahun Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-MD Jawa Tengah)

Alokasi dana bantuan PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2008 digunakan untuk mendanai 29 kabupaten, 224 kecamatan dan dikompetisikan di 3,544 desa yang berpartisipasi. Total jumlah desa tertinggal di Jawa Tengah adalah sebanyak 1.477 desa.
Lokasi PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 di provinsi Jawa Tengah adalah mencakup 29 kabupaten, 322 Kecamatan dan 5.094 Desa partisipasi. 

Selasa, 27 Juli 2010

Teknik Penyelesaian Masalah (Problem Solving)

A. Pengertian
Masalah merupakan bagian dinamika kehidupan manusia, artinya tidak ada satupun manusia di dunia yang tidak pernah mempunyai masalah. Bahkan dalam perkembangannya “masalah” merupakan bagaian tidak terpisahkan dengan kehidupan itu sendiri.Dengan kata lain masalah adalah indicator dari kehidupan itu sendiri. Arti keseharian ”masalah” adalah seluruh fenomena kehidupan yang membuat kekecewaan atau kemarahan seseorang atau sekumpulan orang. Indikasi atau tanda tanda masalah biasanya dapat dipahami dalam seluruh kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, tujuan, cita cita, idiologi, kepentingan, target yang ada dibenak orang atau sekumpulan orang. Secara praktis ada yang mengartikan bahwa ”masalah” adalah hambatan atau rintangan yang mengakibatkan realita tidak sesuai dengan rencana, keinginan dan cita cita seseorang atau sekumpulan orang.
Adalah merupakan anugrah atau keunggulan tersendiri bagi orang atau sekumpulan orang yang dapat mengenali ”masalah” nya. Banyak orang atau sekumpulan orang bisa kecewa dan marah terhadap realitanya, namun sedikit orang yang bisa mengenal atau menemukan masalahnya. Maka banyak orang yang mengalami kebingungan, kepanikan, kebimbangan, keraguan atau kemarahan baik kepada dirinya maupun kepada orang lain, karena mereka tidak mampu nengenali masalahnya.
B. Kesadaran manusia dalam memahami masalah
Cara memahami masalah berhubungan dengan kesadaran yang mendominasi diri seseorang atau sekumpulan orang. Ada tiga kesadaran manusia ketika memahami masalah, yaitu:
Pertama kesadaran magis, yaitu kesadaran akan adanya kekuatan diluar diri dunia manusia, artinya bahwa seluruh kehidupan manusia termasuk persoalannya adalah karena ada kekuatan dan kekuasaan sang maha kuasa di luar dirinya. Kesadaran ini juga disebut kesadaran spiritual, karena kesadaran ini bersumber dari mainstreaming spiritualitas diri manusia. Kesadaran magis ini meletakan masalah pada kekuatan magis. Secara praktis seluruh proses penyelesaian masalah diserahkan kepada sang waktu dan kekuatan yang dipercaya ada di luar kemampuan nalar, knowlidge, dan perasaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu strategi utama untuk menyelsaikan persoalan adalah dengan meminta pertolong sang maha kuasa di luar dirinya (berdoa) dan menyerahkan sepenuhnya kepada sang waktu (sabar). Pendekatan utama penyelesaian masalah manusia menggunakan cultural approach.
Kedua, kesadaran naif, yaitu kesadaran yang bertumpu kepada kepercayaan total terhadap diri manusia itu sendiri. Artinya seluruh persoalan kehidupan manusia tergantung terhadap diri orang itu sendiri. Oleh karena itu kesadaran naif ini juga disebut kesadaranself covidanceSecara praktis seluruh proses penyelesaian masalah diserahkan total terhadap manusia itu sendiri. Oleh karena itu strategi utama untuk menyelesaikan masalah adalah dengan meningkatkan semangat, motivasi dan memperkuat karakter, knowlidge, ketrampilan diri untuk membangun kekuatan menyelesaiakan segala persoalannya. Salah satu rumus praktis nya dalam penyelesaian masalah adalah memahami, mengenali sumber masalah itu sendiri dan membelajari teknik teknik menangani sumber masalah tersebut. Pendekatan penyelesaian masalah yang berbasis kepada kesadaran magis biasanya menggunakandevelopmen approach.
Ketigakesadaran krtitis, yaitu kesadaran yang bertumpu kepada kepercayaan bahwa seluruh kehidupan manusia merupakan satu kesatuan system yang saling terkait satu sama lain seperti struktuk mekanik. Dengan demikian seluruh persoalan kehidupan manusia merupakan kaitan dari system atau struktur sosial, ekonomi dan politik. Oleh karena itu strategi utama dalam penyelesaian persoalan adalah menggunakan strategi transformatip dan advokasi. Pendekatan penyelesaian masalah yang berbasis kepada kesadaran kritis biasanya menggunakan structural apprach.
C. Paradigma (Kawasan berpikir) dalam memahami masalah
Dalam perspektip keilmuan soaial ada empat kawasan berpikir manusia dalam memahami masalah, yaitu:
Pertama, Paradigma Humanis radikal, yaitu kawasan berpikir dalam memahami masalah dari perspektip kesadaran manusia yang menggugat atau mempertanyakan struktur berpikir dalam kepalanya yang mendominasi dan memaksakan atau mememenjara akal pikirannya sehingga tidak ada keberanian melakukan berbagai terobosan, atau keluar dari pola umum. Menurut paradigma humanis radikal, bahwa masalah adalah akibat dari terkungkungnya cara berpikir manusia itu sendiri. Oleh karena itu cara praktis untuk menyelesaikan masalah menurut paradigma humanis radikal adalah dengan memerdekakan pikir agar mampu melahirkan berbagai kreativitas dan inovasi dalam menyelesaikan masalah.
Kedua, Paradigma intepretatip, yaitu kawasan berpikir dalam memahami masalah dari perspektip pemaknaan simbol, bahasa atau tanda tanda fenomena kehidupan manusia. Menurut paradigma intepretatip bahwa masalah adalah merupakan kesalahan atau salah mengerti tentang memaknai simbol, bahasa atau tanda tanda kehidupan. Oleh karena itu cara praktis untuk menyelesaikan masalah menurut paradigma intepretatip adalah dengan meningkatkan kualitas, intensitas, frkekuensi, media dan materi komunikasi. Musyawarah, dialog, diskusi, curhat, dan konseling adalah sangat dianjurkan sebagai media penyelesaian masalah. Jangan sekali kali memendam dan menyembunyikan masalah dalam diri anda, tetapi bukalah dan komunikasikan dengan orang lain yang dipercaya.
Ketiga, Paradigma struktural radikal, yaitu kawasan berpikir dalam memahami masalah kehidupan manusia dari perspektip perubahan struktur atau sytem sosial yang mengkonstruksi perilaku manusia. Menurut paradigma struktural radikal bahwa masalah adalah merupakan akibat struktur atau system yang merugikan, menindas, mengeksploatasi manusia. Oleh karena itu cara praktis untuk menyelesaikan masalah menurut paradigma struktur radikal adalah dengan mengkaitkan antara kehidupan manusia dengan struktur atau system yang berlangsung seperti kebijakan publik---UU/PP/PERDA dan struktur sosial ekonimi yang ada.
Keempat, paradigma fungsional, yaitu kawasan berpikir dalam memahami masalah kehidupan manusia dari perspektip fungsi fungsi sosial yang tidak jalan sehingga menimbulkan berbagai masalah yang dirasakan oleh manusia. Menurut paradigma fungsional bahwa masalah adalah merupakan akibat fungsi sosial yang tidak jalan sehingga merugikan dan manyulitkan masyarakat. Oleh karena itu cara praktis untuk menyelesaikan masalah menurut paradigma fungsional adalah dengan mengkaitkan antara kehidupan manusia dengan fungsi fungsi sosial yang berkaitan satu sama lain.
D. Paradigma pola menganalisis sumber masalah
Berbagai teknik untuk memahami sumber masalah kehidupan manusia telah dipolakan dengan berbagai macam pola. Secara paradigmatik pola analisis sumber maslah ada dua, yaitu paradigma sebab akibat dan linier dan paradigma non linier dan tidak selalu berlogika sebab akibat.
Beberapa pola analisis sumber masalah dari paradigma linier yang berlogika sebab akibat contohnya:
1. Pola pohon / akar masalah.
Pola analisis pohon masalah ini menggunakan analogi profile suatu pohon mulai dari akar, batang, cabang dan daun. Simbol daun adalah masalah yang muncul banyak dipermukaan; simbol cabang adalah merupakan fenomena yang mengakibatkan munculnya masalah dipermukaan; batang adalah merupakan substansi yang menjadi pangkal munculnya fenomena yang mengakibatkan munculnya masalah; sedangkar akar adalah merupakan sumber utama yang menyebabkan substansi yang menjadi pangkal munculnya fenomena yang mengakibatkan munculnya masalah.
2. Pola makan bubur panas
Pola analisis makan bubur panas ini menggunakan analogi suatu bubur panas hubungannya dengan pusat dan pinggiran. Temperatur panas yang tertinggi bubur ada di tengah dan semakin meminggir temperatur panasnya semakin mengecil. Analogi ini digunakan ketika orang menyelesikan masalah jangan memulai dari yang paling berat namun mulailah dari masalah yang paling ringan.
3. Matrik sebab akibat yang berbasis logika management
Pola analisi matrik logika managemnt menggunakan analogi input output yang menghasilkan outcome dan impact. Masalah masalah yang paling mengemuka harus di masukan menjadi target dalam output, masalah substansial dimasukan dalam rumusan hasil dalam oucome, dan sumber utama masalah dimasukan dalam rumusan benefisiaries dalam impact.
4. Matrik methaplan
Pola matrik methaplan mengghunakan alat bantu karti masalah. Setiap kartu hanya ada satu rumusan masalah. Seluruh kartu masalah dihubungkan satu sama lain dengan logika sebab akibat dan berpola linier. Dari hasil hubungan antar kartu akan ditemukan kartu masalah yang dianggap sebagai kartu masalah yang menjadi sumber utama dari seluruh kartu masalah yang ada.
5. Matrik skore masalah
Matrik skore masalah adalah merupakan bagain statistik masalah dengan x dan y sebagai variabel masalah. X variabel masalah adalah merupakan fantor masalah yang mempengaruhi atau mengakibatkan atau variabel dependent. Sedangkang Y adalah variable masalah yang dianggap sebagi faktor masalah yang dipengaruhi atau diakibatkan atau variable independent. Setelah di sekor akan diketemukan posisi masalah sebagai variabel penyebab utama, variable perantara masalah dan variable yang diakibatkan.
Beberapa pola analisis sumber masalah dari paradigma non linier yang berlogika tidak sebab akibat contohnya:
  1. Analisa imaginatip multy dimensi
Cara memahami masalah dengan pola imaginatip multy dimensi, dituntut kemampuan untuk menembus dimensi waktu, dimensi tempat, dan dimensi fisik. Analisa ini sering menggunakan teknik spiritual untuk mencari sumber masalah. Karena masalah yang muncul hubungannya dengan galksi mikro kosmos dan makro kosmos. Analisa ini sering disebut juga dengan nama masa depan. Penyelesaian masalah selalu didekati dengan proses perencanaan masa depan secara komprehensip.
ANALISIS MASADEPAN: KEMAMPUAN UNTUK MELIHAT INTI PERSOALAN, KELEMAHAN, POTENSI, HAMBATAN, DUKUNGAN DI MASA DATNG AGAR DAPAT MENJADI GUIDING STAR.
CONTOH RAMALAN PERUBAHAN MASA DEPAN:
( ALVIN TOFLER, JOHN NAISBITT, WILLIAM GATE, MARY SHELLEY)
 PEKERJAAN FISIK MANUSIA AKAN BERKURANG. PERANNYA AKAN DIGANTIKAN OLEH OTOMATISASI.
 PEKERJAAN YANG BERSIFAT TRADISIONAL, STRUKTURAL, DAN RUTIN AKAN BERKURANG ATAU HILANG. BANYAK PEKERJAAN YANG BERUBAH MENJADI AD HOC MENGIKUTI ASAS PRIORITAS DAN URGENY.
 ORGANISASI MEMERLUKAN DEMOKRASI, DESENTRALISASI, DEBIROKRASI, DAN DELEGASI
 PENYELESAIAN PERSOALAN DI MASA DEPAN AKAN DITANGGULANGI OLEH TIM YANG BEKERJA BERDASARKAN ILMU PENGETAHUAN VIRTUAL KARENA ORGANISASI AKAN MENJADI ORGANISASI JARINGAN.
 TEMPAT KERJA MANUSIA AKAN BERUBAH DARI KANTOR KE RUMAH, TEMPAT REKREASI, TEMPAT PERISTIRAHATAN, ATAU DALAM PERJALANAN.
 NILAI UNIVERSAL AKAN MENJADI ACUAN MASYARAKAT DUNIA.
 MOBILITAS TEMPAT TINGGAL, PENDIDIKAN, PEKERJAAN, DAN KEGIATAN SOSIAL AKAN SEMAKIN TINGGI SEHINGGA IDENTITAS DIRI BUKAN LAGI BERDASARKAN NEGARA TETAPI BERDASARKAN PROFESI.
 ORIENTASI GAYA HIDUP KEMBALI KE ALAM.
 AKAN ADA BERBAGAI PERLAWANAN DAN PENGINGKARAN BERBAGAI “MAINTREAMING” KEHIDUPAN MULAI AGAMA, ADAT SAMPAI ARSITEKTUR DAN SENI.
 PROSES PEMPRIBADIAN MANUSIA MENGARAH INDIVIDUALISTIS YANG HUMANIS.
  1. Brake through
Pola membuat terobosan adalah menganalogikan bahwa masalah adalah bagaikan tembok penghalang. Untuk mengatasi untuk melewati tembok penghalang ini dengan cara membuat tembusan atau kemampuan menembus tembok. Salah satu teknik menembus tembok adalah dengan cara menggunakan sifat sifat air yang dapat merembes dalam pori pori yang paling kecil atau menggunakan sifat uap yang dapat menembus segala celah sekecil apapun. Secara kongkrit masalah harus dihadapi dengan cara lembut, cair, fleksibel dan tekun.
  1. Menjadikan masalah menjadi potensi atau keberuntungan
Masalah tidak dianalisis untuk dicari sumbernya, namun diubah dan dikontruksi menjadi modal atau sumber keberuntungan. Kemampuan orang dalam mengatasi masalah dengan mengubah menjadi keberuntungan diperlukan social entrprenership yang luar biasa. Namun secara praktis masalah selalu dipahami dari berbagai sisi positipnya tidak harus divonis menjadi vaktor negatip.
E. BEBERAPA TIP MENGHADAPI SITUASI KRISIS
 TENANG JANGAN PANIK, KUASAI DIRI
 KENALI POSISI DIRI / ORGANISASI HUBUNGANNYA DENGAN PETA LINGKUNGAN SEKITARNYA DAN GLOBAL.
 KENALI POTENSI DAN KEUNGGULAN DIRI.
 KENALI DAN INGAT KEMBALI KAWAN DAN LAWAN.
 BERPERILAKULAH SEPERTI PERILAKU ORANG YANG SEDANG PENGEMUDIKAN KENDARAAN DALAM MENGHADAPI JALAN, CUACA, PEMAKAI JALAN LAIN, PENUMPANG, BENCANA, MENGENAL KENDARAAN YANG DIKEMUDIAKAN DLL
 SELALU SEDIAKAN ALTERNATF
 AMATILAH TERUS TINGKAH LAKU STAKE HOLDIR DIRI.
 BERSIKAPLAH TERBUKA, BANGUNLAH KEPERCAYAAN HINDARI PERILAKU YANG MENDATANGKAN KECURIGAAN.
 CARI PELUANG JANGAN MENUNGGU PELUANG.
 TIADA WAKTU TANPA KREATIP DAN INOVATIP.
 SEGERALAH BERTINDAK.
F. LINGKUP PROBLEM SOLVING
l Kecepatan memahami persoalan.
Masalah harus secapatnya dipahami, dikenali dan dimengerti secara utuh. Jangan melihat masalah hanya bagiannya namun harus di pahami secara cepat jangan sampai tertinggal dengan momentum nya.
l Kecepatan melakukan analisis persoalan.
Kecepatan melakukan analisis masalah menjadi vaktor penentu dalam menemukan berbagai solusi untuk penyelesainnya. Masalah selalu berhubungan dan terkait satu sama lain dengan masalah lainnya.
l Kecepatan memunculkan berbagai pilihan tindakan.
Munculkanlah secara cepat berbagai solusi untuk memecahkan masalah, semakin banyak pilihan akan semakin mudah untuk membuat langkah kongkritnya. Beberapa pilihan di kalkulisi dengan menggunakan analisis SWOT.
l Kemampuan menentukan pilihan tindakan.
Hasil kalkulasi SWOT sangat membantu secara cepat untuk memilih solusi, jangan sampai memilih solusi yang justru akan membuat masalah baru.
l Kecepatan menggalang sumberdaya yang dibutuhkan.
Salah satu keberhasilan dalam menyelesaikan masalah adalah kemampuan dan kecepatan menggalang resources yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah.

Minggu, 27 Juni 2010

PANDUAN PRAKTIS PERENCANAAN STRATEGIS ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL

Pemahaman Dasar Perencanaan Strategis
Perencanaan Strategis berasal dari kata strategos adalah seni para jendral dalam merencanakan perang. Kemudian diadopsi oleh masyarakat sipil sebagai seni berperang memperjuangkan atau membela: Ide, posisi, harkat, martabat masyarakat atau Negara. Atau ilmu kompetisi, mengungguli yang lain. Pikiran strategis mengandung: (a) Tindakan comparative (Keunggulan sendiri), (b) Tindakan Kompetitif (Kelemahan pihak lain), (c) Tindakan Inovatif (Memuat unsure pembaharuan)[*]
Perencanaan strategis bagi Organisasi Masyarakat Sipil adalah merupakan seni proses perencanaan untuk memperjuangkan dan membela hak hak sipilnya. Esensi dari perencanaan strategis adalah: (1) Menentukan focus program guna memastikan posisi di masa depan. (2) Perencanaan multisektoral merangkum perencanaan bagian atau sektoral. (3) Memastikan meningkatnya kapasitas yang mengungguli partner lain tanpa menciderai. (4) Mngindentifikasi dan merumuskan berbagai strategi unggulan. (5) Membangun komitment dan kesepakatan para pimpinan puncak institus. (6) Membangun kerja sama dengan stake holder utama.

Selasa, 01 Juni 2010

UPK PNPM-MD KECAMATAN GEBANG, PURWOREJO PEROLEH SURPLUS RP 500 JUTA

Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Kecamatan Gebang, Kecamatan Purworejo pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MD), menyerahkan bantuan sosial kepada masyarakat. Bantuan bersumber dari surplus yang dikelola pada tahun 2009 lalu. Bantuan senilai Rp 76 juta, diserahkan secara simbolis oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Bapermasdes) Kabupaten Purworejo, Drs Sutrisno Msi, dan Camat Gebang Waluyo, Senin (24/5), di aula Kantor Kecamatan Gebang.

Kamis, 27 Mei 2010

STRATEGI MENYERAP ASPIRASI RAKYAT KECIL

ASPIRASI RAKYAT KECIL TERPINGGIRKAN
Media dan istrumen penyerapan aspirasi public sering tidak bisa diakses dan digunakan oleh rakyat kecil. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor: Pertama, secara cultural rakyat kecil adalah mempunyai budaya “bisu”, dimana ada keengganan dan kegamangan untuk menyuarakan aspirasinya secara verbal dan non verbal. Kedua, rakyat bawah tidak menguasai alat dan intrumen (teknologi) yang dapat sebagai media untuk menyampaikan aspirasinya. Ketiga, rakyat bawah tidak mempunya knowledge dan ketrampilan untuk mensistematisir dan merekontruksi pikiran, perasaan, kekecewaan dan persoalannya menjadi bentuk aspirasinya. Keempat, secara individual tidak ada kekuatan untuk mempertahankan dan menanggung segala implikasi dari aspirasi yang kemungkunin tidak berkenan bagi “sang penguasa”. Kelima, fungsi media massa berubah dari menyampaikan berita menjadi membuat berita. Posisi sumber informasi menjadi posisi untuk melegitimasi berita yang diinginkan oleh pihak media massa. Keenam, media formal (public hearing dan MUSRENBANG) sangat elilitis baik system, metode dan media yang digunakan. Sehingga rakyat bawah tidak pernah terakomodir aspirasinya atau hanya sebagai obyek untuk para eliteuntuk melegitimasi kepentingannya.
Kondisi seperti diatas sering dimanfaatkan oleh para elite untuk menyampaikan kepentingan dirinya dengan mengatas namakanaspirasi rakyat. Oleh karena itu sangat sulit untuk menginfestigasi mana suara rakyat dan mana suara elite. Sebagain besar suara rakyat dipinggirkan oleh suara elitenya. Bahkan para elite sering berupaya menghegemony rakyat untuk menjastifikasi ataumengaminin kepentingannya dengan stigma suara rakyat.
Sampai saat ini pemerintah Indonesia mulai rezim Soekarno samapi SBY belum ada yang mampu membuat strategi dan media yang dapat menjaring aspirasi rakyat kecil. Oleh karena itu berbagai kebijakan sering bias dengan aspirasi rakyat sendiri. Lebih lebih pada era reformasi ini, dimana media massa dan aksi massa kota sebagi otoritas tersendiri yang mempunyai symbol sebagai suara rakyat semakin jauh dari aspirasi rakyat itu sendiri. Karena rakyat bawah khusunya desa tidak mampu mengakses menggunakan kedua media tersebut. Bahkan ada anggapan secara umum “Pemerintah saat ini hanya kosentrsi mengakomodir aspirasi elite kota” melalui media massa dan aksi massa.
SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TELEVISI/RADIO
Hasil penelitian tahun 2004 di lima kabupaten (Lombok Timur, Bima, Dompu, Alor, dan Sumba Barat) tentang MUSRENBANG sungguh menarik. Dimana MUSBANGDES yang dibuat oleh kepala desanya beserta pamongnya dengan yang dibuat oleh warga masyarakatnya secara substansial tidak berbeda. Bahkan hampir seluruh rakyat Indonesia kemungkinan aspirasinya (suaranya sama). Mengapa demikian? Karena hampir setiap hari rakyat Indonesia hanya menerima konsepsi tentang hidup dariTV. Sehingga mulai aspirasi bentuk makan, minuman, pakaian, rumah dan semua yang ada hubungannya dengan kehidupannya mengikuti dan meniru yang ada di TV/Radio. Aspirasi rakyat secara umum sudah terhegemony atau“tersurupi” oleh pesan pesan dari TV/Radio, bukan dari hati nuraninya lagi.
Rakyat Indonesia akhir akhir ini sudah hampir total “kesurupan”pesan pesan TV/Radio yang di tonton dan diperhatikan setiap harinya. Ketika rakyat diberi kesempatan untuk menyampaiakn aspirasinya (biasanya melalui MUSBANGDES/ MUSBANGDUS, Public hearing dengan DPRD atau melalui berbagai survey), memang mulut rakyat yang menyampaikan, tetapi isi pesannya sebetulnya dari TV/Radio. Hal ini bukan kesalahan TV/Radio atau rakyatnya, namun karena pemerintah, PARPOL, LSM, Perguruan Tinggi, institusi adat dan Agama tidak mampu memberi informasi dan penjelasan seintensip dan sesering TV/Radio. Dengan kata lain guru rakyat saat ini adalah TV/Radio. Dengan demikian seluruh cita cita, harapan, dan perilaku hidupnya hampir total meniru “sang guru” tersebut.
Analogi kondisi rakyat di atas adalah seperti pemain kuda lumping yang sedang “mabuk” di kemudian ditanya aspirasinya. Maka yang keluar dari mulut pemainnya adalah suara “setan” yang menghegymoni atau “menyurupi”, bukan suara dari si pemain itu sendiri. Kalau suara itu diikuti maka sebetulnya bukan mengakomodir atau melayani kemauan pemainnya tetapi mengakomodir dan mengikuti kemauan dan kehendak “setan” yang mempengaruhinya.
Demikian juga ketika rakyat yang sedang tersurupi oleh pesan yang ada di TV/Radio, maka yang keluar dari mulit rakyat adalah kepentingan yang ada di TV/Radio. Dengan demikian kalau pemerintah mengikuti dan mengakomodir suara tersebut, sebetulnya bukan mengakomodir dan merespont suara rakyat tetapi mengakomodir dan merespont kemauan dan kepentingan TV/Radio. Padahal pesan yang ada di TV /Radio hampir total merupakan pesan dari kalangan para “pedagang” dan elite politik.
Pemerintah SBY (lihat KOMPAS, 12 April 2006 seperti artikelnya Agus Sudibyo) terkesan gamang dan merasa berhutang popularitas kepada media. Sehingga media massa khususnya TV/Radio dianggap sebagai sumber informasi yang paling syaheh dan valid. Padahal rakyat perlu dididik untuk kritis kepada media massa. Inilah kegamangan ketika pemerintah akan memasuki ranah media massa yang akhir akhir ini menduduki posisi seolah olah wakil suara rakyat!
TRATEGI MENYERAP ASPIRASI RAKYAT KECIL
Ada nasehat rakyat kepada para akhli komunikasi “Jangan bertanya kepada orang yang lagi mabuk atau lagi kesurupan!” Sebab jawaban yang diperoleh adalah akan bias dari suara hati yang ditanya itu sendiri.
Kalau kita mengikuti nasehat di atas sebaiknya pemerintah jangan langsung menjaring aspirasi rakyat yang sedang kesurupan TV. Sebab hasilnya akan bias dengan suara hati rakyat itu sendiri. Percayalah kalau kebijakan yang dibuat pemerintah hanya berdasarkan pesan TV /Radio akan terus masuk dan keluar dari kesesatan yang tidak ada ujung pangkalnya. Oleh karena itu, kalau menggunakan analogi pemain kuda lumping yang sedang trans maka sebelum ditanya di tiup dulu telinganya dan disadarkan. Setelah sadar baru ditanya aspirasinya. Insya Allah yang keluar adalah suaranya yang mencerminkan kebutuhan hati nuranya bukan menyuarakan kehendak setan yang menyurupi. Dengan demikian perlu ada upaya upaya untuk melakukan proses penyadaran diri rakyat terlebih dahulu dengan cara memberi berbagai penjelasan dan informasi yang dapat untuk mengkritisi dan mengkonter penjelasan dan informasi sesat dari TV /Radio dan media lainnya.
Salah satu fungsi Departemen Komunikasi dan Informatika adalah membuat strategi komunikasi yang dapat menyadarkan rakyat yang sedang kesurupan. Fungsi ini yang selama rezim SBY khususnya belum terlihat effektip. Bahkan terkesan sejak memasuki masa reformasi Departemen Penerangan terlihat gamang dan ragu, seolah olah tidak mempunyai visi dan sikap yang jelas. Oleh karena itu ada beberapa konsep yang dapat menjadi referensi bagi Departemen penerangan sebagai berikut: Pertama, membangun sytem komunikasi melalui birokrasi yang transformatip. Sehingga para apparatus pemerintahan di tingkat pelayanan public memahami, mengerti dan bisa melaksanakan dan menjelaskan kebijakan kebijakn pemerintah kepada rakyatnya. Komunikasi antar instansi pemerintah sendiri sampai saat ini terkesan macet. Oleh karena itu perlu mengembangkan system komunikasi antar departemen / instansi yang lebih intensip dan effektip. Kedua, mengembangkan komunikasi rakyat yang dialogis melalui media populair di lingkungan masyarakat sendiri. Artinya perlu ada juru penerang yang transformatip dan cakap menggunakan media rakyat setempat yang populair. Ketiga, mentransformasi pesan melalui media massa untuk mengimbangi pesan dari elemen elemen lain. Sampai saat ini Departemen Komunikasi dan Informatika belum banyak menggunakan program acara TV dan Radio yang dikemas secara populair untuk menyampaikan penjelasan tentang berbagai kebijakan pemerintah. Namun untuk melaksakana ketiga konsep tersebut perlu menggunakan metode dan strategi yang tidak mengulang seperti digunakan rezim Orde Baru. Karena pada zaman Orde Baru Departemen Komunikasi dan Informatika terkesan sebagai fungsi untuk menjinakan rakyat ketimbang sebagai fungsi membangun kesadaran dan pencerahan rakyat. Pada saat ini diperlukan Departemen Komunikasi dan Informatika yang mampu mencerdaskan, mendidik, memerdekaakan, mencerahkan pikiran rakyat. Berbagai instrument dan media komunikasi yang mencerahkan dan menyadarkan rakyat sudah banyak dilakukan oleh kalangan sebagain kecil LSM dan terbukti effektip hasilnya.Keempat, perlu mengembangkan system informasi yang antisipatip untuk masalah masalah social khususnya bencana, wabah penyakit, stok bahan kebutuhan pokok, dan berbagai pelayanan public.
Kalau rakyat sudah tidak terhegemony oleh suara TV/Radio maka Departemen Komunikasi dan Informatika perlu mengembangkan strategi penjaringan aspirasi rakyat yang “merakyat”. Artinya perlu ada sytem yang dapat mengakomodir aspirasi rakyat dan menggunakan bentuk dan media yang dapat diakses oleh rakyat bawah. Strategi penjaringan aspirasi rakyat bawah yang paling tepat adalah melalui media “aduan langsung” di setiap yunit pelayanan umum seperti: Pelayanan kesehatan, Pelayanan Pendidikan, Pelayanan surat surat yang ada hubungannya dengan kepentingan warga negara seperti KTP, SIM, IMB, dll. Artinya strategi penjaringan aspirasi menjadi satu system yang tidak terpisahkan dengan system kerja birokrasi dan apparatus pelayanan public. Departemen Komunikasi dan Informatika tidak bisa bekerja secara terpisah dan artificial, namun harus mampu mentransformasi TUPOKSI nya menjadi bagaian yang tidak terpisahkan dengan seluruh Departemen, instansi, unit, di setiap tingkatan mualai dari desa, kecamatan, kabupaten, propinsi dan pusat.
Sytem dan media aduan di unit pelayanan umum sangat effektip berdasarkan pengalaman LSM yang mengembangkan program gerakan partisipasi dan pengawasan pelayanan public khususnya Puskesmat, IMB, Pendidikan, dan pelayanan di tingkat desa di kabupaten Sleman, Bima, Lampung, Solok dan Sumba barat. Hal ini karena instrument dan bahasanya sangat familier dengan rakyat bawah.
Namun penjaringan aspirasi rakyat kecil harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kapasitas pelayanan public. Kalau tidak, maka akan mempercepat proses kekecewaan rakyat dan akibatnya dapat mengurangi kepercayaan dan partisipasi rakyat terhadap proses pengelolaan pembangunan dan pemerintahan. Faktor utama persoalan di era pemerintahan SBY adalah apparatus pemerintahan di tingkat bawah tidak memahami kemauan politik pemerintah pusat dan tidak mampu mengurai dan mengoperasionalkan kebijakan kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan kabupaten. Bahkan terkesan sampai saat ini apartus pemerintah energinya banyak terserap untuk mengurus dirinya yang tidak pernah selasai dengan operational cost “tinggi” terbukti rata rata 60% APBN/APBD terserap untuk membiayai birokrasi dan apparatus .

Selasa, 27 April 2010

Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk Mencegah Konflik Pemilukada

Prediksi Konflik Pemilukada
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mempredikasikan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar secara serentak pada 2010 berpotensi timbul banyak konflik. ''Pilkada 2010 marak konflik. BADAN Pengawas Pemilu (Ba-waslu) memprediksi potensi konflik pada pemilihan kepala daerah (pilkada) lebih besar dibandingkan dengan pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres lalu. Hal ini disebabkan tingkat emosional dan rasa fanatisme masyarakat lebih tinggi kepada salah satu calon kepala daerah. "Isu putera daerah dan fanatisme warga daerah kepada calonnya sangat tinggi, ini menjadi indikator terjadinya konflik." jelas anggota Bawaslu Eka Cahya Widodo kepada Rahul Merdeka.[3]
Fakta konflik dalam proses demokrasi yang sampai pada formulasi perilaku kekerasan dan destruktip, sebagian orang mengatakan, dengan meminjam istilah Geertz, Indonesia tengah mengalami involusi demokrasi, sebuah periode keterbelakangan demokrasi. Kondisi ketika organ Negara sepertinya sudah tak mampu lagi mengurus rakyatnya, partisipasi warganegara pun sedemikian rendahnya, hanya terbatas pada ruang-ruang politik semata. Jamaknya state auxiliary agencies juga menjadi pertanda, ketidak mampuan Negara dalam melakukan pengurusan segala kepentingan Negara, termasuk pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara. Hal ini terjadi di Indonesia sejak kemerdekaannya diploklamiskan pada 17 Agustus 1945. Walaupun sejak keluarnya Surat Sebelas Maret tahun 1966 dari Presden Soekarno kepada Soeharto terjadi adanya kestabilan politik secara semu. Dianggap semu karena hampir seluruh aspirasi politik warga negara ”dibungkam” dalam sistem politik tunggal Orde Baru.
Ketika rezim Orde Baru ”tumbang” tahun 1988, terjadi embrio redemokratisai yang dimulai dengan berkembangnya semangat reformasi. Sayangnya embrio redemokratisiasi ini hanya mampu menciptakan keterbukaan politik di tingkat permukaan. Itu pun hanya sekedar didominasi minoritas elite, rakyat kebanyakan tetap saja belum mempunyai kesadaran politik sebagai warganegara yang berkedaulatan pada rakyat. Akibatnya sebagai warga masyarakat kelas bawah hanya sekedar menjadi mesin pendulang suara waktu pemiliahan umum baik untuk prseiden, legislatip sampai pemilihan umum kepala daearah.
Sementara partai politik yang tumbuh dan berkembang pada era reformasi, boleh dibilang, masih cenderung terkonsentrasi mengurus partai dan administrasi kelembagaan partai. Perhatian dan pemberdaaan poltik terhadap konsituennya masih belum maksimal. Padahal dalam kondisi dan situasi politik seperti sekarang ini anggota masyarakat yang sudah mulai tertarik dan aktip menjadi konsituen partai politik belum cukup dibekali dengan berbagai kemampuan berpolitik. Di mana kebebasan, keterbukaan dan meluasnya demokrasi belum menjadi bagian dari modal utama partai politik dalam berperan aktif melakukan persambungan dan silaturrahmi politik. Oleh karena itu berbagai ekpresi konflik ”politik” yang belum matang akan keluar secara ’brutal” pada berbagai tahapan pemilihan umum. Berdasarkan Peraturan KPU No 20 Tahun 2008, tahapan pemilu legislative terdiri dari 9 tahapan, yaitu;Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih,Pendaftaran Peserta Pemilu dan Penetapan Peserta Pemilu,Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, Pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD, Masa kampanye, Masa tenang,Pemungutan dan penghitungan suara, Penetapan hasil Pemilu, Sumpah/Janji DPRD Prov, DPRD Kab/kota. Titik rawan yang akan menjadi ajang konflik terbuka adalah pada tahap masa kampanye, penghitungan suara dan pada penetapan hasil pemilu. Alagi kalau secara teknis KPUD tidak mempesiapkan dengan baik akan pengorganisasiannya dan intrumen teknisnya, akan menjadi sasaran utama “amuk massa” bagi para konsituen yang terkeceakan dengan proses dan hasil pemilu kada. Fakta emunjukan bahwa energy konflik pmilukada akan teralihkan sasarnnya kepada KPUD dan berbagai elemen yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemilukada tersebut.
Kurangnya Upaya Pendidikan Politik Warga
Tingkat kesadaran dan pemahaman politik sebagian besar masyarakat kita sangat rendah, kalangan keluarga miskin, petani, buruh, nelayan dan sebagainya belum cukup memiliki kesadaran politik yang tinggi karena disibukkan persoalan ekonomi daripada memikirkan segala sesuatu yang bermaknapolitik. Setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak Negara, termasuk dalam hal pendidikan politik. Pendidikan politik kita lebih merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai dan keyakinan yang diyakini oleh penguasa dan elite politik.
Akhirnya rakyat merasakan adanya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan, apalagi sampai saat ini hasil proses melihan langsung justru menjadi pendukung fakta empiris Negara belum kunjung melakukan pemajuan kesejahteraan sesuai harapan warga. Kondisi ini bisa terjadi sebagai akibat lemahnya desakan dan dorongan politik masyarakat terhadap elite politik sebagai operator Negara. Atau realitas politik yang memang tidak mengarah pada upaya peningkatan kesejahteraan warganegara, namun hanya sibuk mempertahankan kekuasaannya dan menanggapi berbagi reaksi lawan lawan poltiknya. Maka hakikat Negara yang reason d’etre-nya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warganegara belum terwujud.
Realitas politik belum dibangun untuk mengarah pada pemajuan hak-hak warganegara. Proses politik yang ada belum mendorong sebuah masyarakat politik yang kuat, yang mampu mendesakkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Masyarakat politik yang kuat tidak tercipta sekadar dengan pemahaman rakyat atas proses atau mekanisme politik yang harus dilaluinya. Melainkan, terlebih dahulu mereka harus memahami hak-haknya sebagai warganegara, baik hak politik maupun hak sosialnya. Relasi Negara—yang merupakan realitas politik—dengan warganegara harus ditata kemabali dengan pendekatan hak, agar supaya realitas politik terus mengarah pada pemenuhan hak-hak warganegara. Melalui perspektif hak, kiranya ada penegasan bahwa hak-hak warganegara diakui, dijamin, dan akan dimajukan, tidak sekedar tertulis di konstitusi. Harapannya, ada sebuah pendekatan baru yang dibangun untuk menyongsong Pemilukada. Rakyat tidak hanya diarahkan atau ditingkatkan kesadarannya untuk membangun komitmen politik dengan elite politik. Tetapi dikuatkan pula kemampuan untuk menciptakan sebuah komitmen sosial. Pemilukada tidak lagi sekedar menjadi hajatan rutin atas nama demokrasi, melainkan sebuah moment politik untuk mempertegas kontrak sosial rakyat dan Negara.
Pemilihan umum dan pemilukada yang berlangsung belum menggerakan kesadaran poltik rakyat sebagai warganegara yang memegang kedaualatan. Padahal penggerakan kesadaran politik warga, adalah merupakan realitas politik keberpihakan. Karena pada tataran paradigma politik akan menentukan pada siapa atau kelompok mana, realitas politik akan berpihak. Menurut Marx, negera hanyalah sekedar panitia yang mengelola kepentingan kaum berkuasa secara menyeluruh, karenanya politik sebenarnya berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (Budiman, 1997). Oleh karena itu, upaya penguatan kesadaran politik rakyat menjadi penting, agar rakyat tidak terus-menurus sekedar menjadi objek politik. Akan tetapi berkembang menjadi subjek politik, yang mampu mengarahkan realitas politik untuk berpihak kepada rakyat.
Pendidikan Politik Dengan Perspektip Pemberdayaan Masyarakat
Pendidikan politik pada tingkatan warga yang masih pada tahapan ”memenuhi” kebutuhan dasarnya atau sedang dalam menuju kesejahteraannya, diperlukan metode dan media yang mengakomodir kondisi tersbut. Pendidikan politik yang akhistoris atau yang tidak kontekstual dengan kebutuhan warga akan menjadi alat mimpi dan pembiusan masal belaka. Pendidikan politik akan dilecehkan dan akan tidak diterima oleh warga sendiri. Hal ini bisa dimengerti, bagaimana warga bisa mencerna dan memahami hal hal idiologis. ketika perut warga lapar, ketika anak sakit tidak terobati, ketika banyak pengangguran, ketika panghasilan dibawah upah minimum. Apabila pendidikan politik ahistoris dan hanya pada tataran permukaan yang mengungkit emosi emosi kepentingan. Maka yanag akan berkembang adalah politik uang atau politik ”bantuan”. Pemilukada akan menjadi momentum warga pemilih untuk mengharap adanya pembagian uang atau ”bantuan project politik”.
Dengan demikian pendidikan politik yang paling tepat pada saat ini adalah pendidikan politik yang berperspektip pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan adalah proses peningkatan daya masyarakat dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Bukan proses memberi bantuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupannya namun menghilangkan potensi dan daya masyarakat sendiri. Maka dari itu metode dan media pendidikan politik yang berperspekti pemberdayaan adalah mempunyai dua output. Pertama Output strategis idiologis dan kedua adalah output praktis pragmatisbasic need. Ada lima aspek pokok bahasana pendidikan poltik dengan perspektip pemberdayaan yaitu; Pertama; Penggerakan dan peningkatan daya warga dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Kedua;Analisis kesadaran kritis terhadap lingkungan sosial, ekonomi, politik dan ekosisitem lingkungannya. Ketiga; Peningkatan membangun akses keberbagai pusat pusat sumberdaya yang dapat mendukung kehidupannya. Keempat; partisipasi dalam organisasi rakyat yang dapat menjadi proses berafiliasi dan berganing politik dengan partai poltik. Kelima; Membangun kemampuan dalam kontrol sosial dan berbagai kebijakan publik.
Pendidikan poltik dengan perspektip pemberdayaan masyarakat diperlukan kecerdasan dan kreativitas dalam pengemasan modul dan kurikulum. Modul dan kurikulum pendidikan politik yang terbagus adalah apabila menggunakan media kerja yang langsung menyentuh kepentingan dan kebututuhan warga. Metode yang paling tepat digunakan adalah menggunakan metode pendidikan orang dewasa dengan pendekatan partisipatip. Memang tidak mudah membuat pendidikan poltik dengan perpektip pemberdayaan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan...selamat mencoba.....!